Internal Value defaultContent

Kamis, Agustus 20, 2009

Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُوْنَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Bagaimana aku akan takut kepada sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kalian tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak untuk mendapatkan keamanan (dari malapetaka) jika kalian mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kedzaliman (kesyirikan), merekalah yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk.” (Al-An’am: 81-82)
Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan selalu dalam koridor bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kembali kepada-Nya, karena Dialah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu. Sehingga dengan keyakinan ini, tumbuh rasa aman dan percaya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berpasrah diri dan tentram hatinya. Bagaimana hal ini tidak terjadi, sementara dia melihat manusia sebagai makhluk yang tidak sanggup berbuat untuk diri mereka sendiri, lebih-lebih untuk orang lain. Dengarkan apa yang telah diucapkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam:

يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيْرِي بِآيَاتِ اللهِ فَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku), kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.” (Yunus: 71)
Dan ingatlah ketika Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

فَكِيْدُوْنِي جَمِيْعًا ثُمَّ لاَ تُنْظِرُوْنِ. إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Jalankanlah tipu daya kalian semua terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 55-56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkan jiwa yang telah sampai kepada kepercayaan, ketentraman dan keamanan yang tinggi karena menemukan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merasakan betapa rendahnya kedudukan makhluk. Mereka tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dalam urusan mereka (melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Keempat: Mengokohkan landasan persaudaraan dan persamaan
Islam adalah agama tauhid yang menjadikan seseorang tunduk kepada Rabb mereka. Tidak menjadikan sebagian mereka menjadi tuhan bagi sebagian yang lain, serta tidak menuntut orang lain agar menyembah dan tunduk kepada yang lain. Manusia seluruhnya sama dalam derajat kemanusiaan. Setiap orang yang bertauhid memiliki persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada yang melebihi yang lain kecuali dengan takwa dan amal shalih. Mereka tidak berbeda karena perbedaan suku, ras, atau lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Kelima: Mendapatkan ketinggian dan kejayaan
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِيْنَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Dengan ikhlas kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah. Dan barangsiapa menyekutukan Allah maka dia seakan-akan jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh.” (Al-Hajj: 31)
Ayat ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan ketinggian dan kejayaan, sedangkan kesyirikan adalah kerendahan dan kehinaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah menyerupakan iman dan tauhid dalam ketinggian, keluasan, dan kemuliaan di langit. Langit itu merupakan tempat naik dan tempat turun, darinya turun ke bumi dan kepadanya naik. Dan Allah menyamakan bahwa meninggalkan keimanan dan ketauhidan, seperti sesuatu yang jatuh dari langit ke tempat yang paling rendah dibarengi dengan rasa sempit yang sangat dan sakit yang bertumpuk-tumpuk, diikuti dengan sambaran burung pada setiap anggota badannya. Lalu setan mencabik-cabiknya, yang dikirim oleh Allah untuk menggiring dan memindahkannya menuju negeri kebinasaan. Kemudian Allah mengirim angin yang menghempaskannya ke tempat yang amat jauh. Itulah jelmaan hawa nafsunya yang akan melemparkan dirinya ke tempat yang rendah dan jauh dari langit.” (I’lamul Muwaqqi’in, hal. 118)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar